Sabtu, September 01, 2012

Trauma Kebakaran


“Kebakaran, kebakaran, kebakaran” teriakan itu terdengar dari ruangan tempat kami berdiskusi sambil bermain game online. Puluhan kaki terdengar dari dalam kamar berlarian di belakang rumah. Listrik menjadi sasaran utama untuk dimatikan. Seorang kawan panik dengan lari naik turun tangga. Lainnya berlarian menyaksikan warga yang mondar-mandir meminta pertolongan. Lokasi kebakaran hanya sekitar 50 meter dari tempat kami berkumpul. 

Warga berlarian keluar rumah dengan gaya pakaian seadanya. Ada yang hanya memakai sarung, hanya memakai celana pendek, tetapi tidak ada satupun yang telanjang bulat . Sebagian warga membawa barang berharga mereka keluar dari rumah. televisi, kulkas, bungkusan pakaian, kendaraan di kumpulkan di ruang – ruang kosong dalam kampung. Kebanyakan kaum ibu-ibu beserta anaknya hanya bisa berteriak dan menangis menyaksikan bencana kebakaran yang melanda kampung mereka.

Tidak cukup 30 menit, ribuan kaum laki-laki baik anak muda maupun orang tua memenuhi gang-gang kampung. Lima sudut yang bisa dijangkau dijadikan tempat untuk berbaris dua untuk saling membantu, mengangkat air dari sumur. Kerjasama warga cukup solid sampai diatap rumah memadamkan api jahanam yang akan menghabiskan tempat tinggal mereka.

“Kerjasama antar warga untuk memadamkan api tercipta dengan baik karena trauma kebakaran yang berkali-kali menimpa tempat tinggal kami” kata salah saorang warga yang ikut ambil bagian dalam barisan untuk mengangkat air. Sekitar sejam setengah bekerja keras mengangkat air. Api berhasil dipadamkan warga. Bunyi sirine dari jalan utama terdengar, pemadam kebakaran mulai berdatangan.

Saya kembali termenung seandainya kondisi demikian yang menimpa tempat tinggalku, pasti akan kelabakan yang lebih parah. Bencana kebakaran pernah terjadi pada keluargaku, sewaktu diriku masih duduk di sekolah menengah pertama. orang tua perempuanku yang bekerja sebagai pedagang harus bangun setiap subuh untuk berangkat ke pasar menjajakan dagangannya. Pekerjaan ini dilakukan untuk membiayai sekolah anak-anaknya, pendapatan bapak hanya cukup membiayai makan dalam keluarga kami. Suatu hari tanpa sebab, Pasar Ibukota kecamatan tempat ibuku selalu mendapatkan pembeli yang paling banyak, habis terbakar.

Tiga bulan kemudian, pasar yang habis terbakar itu akan dibangun kembali. Penguasa lokal menganggap pasar tradisional itu sudah tidak layak lagi, sehingga harus diganti dengan pasar modern dengan mengandalkan modal dari investor. Awalnya para pedagang dijanjikan akan mendapatkan kembali tempat mereka berjualan setelah pasar itu dibangun. Bangunan pasar diubah seratus persen sesui dengan kemauan investor. Ruko dibuat bertingkat dan dapat dijadikan tempat tinggal, karena disertai dengan tempat tidur di lantai dua. Bagian tengah pasar dibangun kios permanen disertai dengan fasilitas mewah.

Bapak Bupati bersama kroninya membuat pesta-pesta dalam rangka meresmikan keberhasilannya membangun pasar tradisonal dengan memanfaatkan dana investor. Para pedagang diundang dan diberi harapan untuk berdagang dan mendapatkan untung dua tiga kali lipat kedepannya. Pedagang yang akan menempati kios dan ruko pasar diharapkan mendaftarkan diri di agen penyalur kios dan ruko yang dibentuk investor.

Awalnya uang muka hanya 3 juta rupiah. Seminggu kemudian dinaikkan 5 juta rupiah. Peminat pun tiada henti bahkan semakin besar. Sampai akhirnya, pihak investor atau pihak pengembang menaikkan biaya uang muka harus 20 juta rupiah. Cicilan bulanan minimal 2 juta rupiah. total harga kios kurang lebih 75 juta rupiah. Para pedagang kecil seperti ibuku kembali berpikir, karena tidak mempunyai uang sebesar itu. Sebagian besar pedagang menarik diri dan memilih untuk tidak berdagang di pasar modern tersebut.

Kondisi pasar semakin hari semakin sepi sampai sekarang. Harga kios dan ruko yang mahal mengharuskan pedagang untuk mencari cara baru dalam mengatasi kebutuhan akan dagang dengan keterbatasan tempat dan modal. Pasar tradisional yang kecil-kecil menjadi tempat alternatif untuk melanjutkan usaha agar anak-akanya dapat bersekolah. Pasar Tradisional-Modern ditinggalkan agar para pengembang jerah menanam modal di pasar tradisional-modern yang menyingkirkan pedagang tak bermodal besar.

Kembali ke kebakaran tempat tinggal seperti yang terjadi di kampung temanku diatas, menimbulkan berbagai pandangan, antara kesengajaan atau bencana. Pasalnya, kebanyakan kebakaran tempat tinggal warga rata-rata terjadi di tanah-tanah yang tidak mempunyai surat-surat atau berkasus dengan pengusaha properti dan sebagainya. Kalau kebakaran di perumahan elit, itu sih tidak jadi masalah, karena mereka punya uang yang cukup untuk mendirikan tempat tinggal yang baru. Tetapi terjadi di pemukiman padat yang kebanyakan penduduk golongan menengah kebawah dan akan menambah kemelaratan warga.

Entah disengaja atau tidak, yang jelas dinas penanggulangan bencana bersama penguasa lokal harus berpikir keras untuk mengatasi fenomena kebakaran yang marak terjadi akhir-akhir ini baik di Jakarta maupun berbagai wilayah di Indonesia lainnya. demi mengurangi korban dan kerugian kelas menengah kebawah. bukan malah sebaliknya, dari tahun ke tahun korban kebakaran semakin banyak dan dibiarkan begitu saja tanpa langkah-langkah yang kongkrit untuk mengantisipasi kebakaran di pemukiman dan tempat usaha warga biasa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar