Rabu, Maret 28, 2012

Makan Pempek Sambil Ber Djembe

Pemberdayaan perempuan melalui alat musik Djembe. sumber gambar : www.drumchik.com
Sepulang kuliah, Mira mengajak jalan ke rumahnya. Ia ingin masak memasak bersamaku. Waktuku kebetulan luang, tugas kuliah sudah selesai semua. Saya pun meng iya kan untuk berkunjung ke rumahnya.


Kami naik angkot pulang. setelah itu, kami harus nyambung lagi dengan menggunakan becak. Jarak rumah Mira dengan jalan raya cukup jauh. Kami bersepakat merayu sopir angkot, agar mau mengantar sampai depan rumah. Mendengar kata-kata memelas dari kami berdua, Pak sopir tua itu terlena dan mengiyakan mengantar sampai ditempat, dengan syarat kami harus menambah biaya dua ribu rupiah.

Seandainya kami naik bus trans bandar lampung pasti harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal, karena bus tidak mungkin akan memasuki gang-gang seperti halnya Angkot. Ah, untung masih ada angkot, kata Mira sewaktu kami sampai depan rumahnya.

Sesampai di rumah, Mira langsung mengajak ganti pakaian dan lalu menuju dapur. Dalam pikirku terbesit, cara inilah yang cocok untuk remaja dan gadis seperti kami, agar bisa belajar masak memasak. Untuk mengembangkan bakat keibuan sedikit demi sedikit, demi meruntuhkan hasil riset yang mengatakan bahwa perempuan modern cenderung tidak bisa memasak seperti ibunya, dan kebanyakan hanya bisa memasak makanan yang cepat saji dengan menandalkan bahan dari pabrik-pabrik yang belum tentu sehat.

Udang, tepung, sagu dan bumbu dicampur bersamaan dan diberikan air lalu dikocok sampai menyatu. Adonan kemudian disiapkan untuk dimasak. Adik Mira, Ferdi (12) tibaitiba mendekati kami. Ia meminta izin untuk menggunakan teras rumah bersama kawan-kawannya. Mira mengiyakan dan mengatakan “asalkan tidak membuat kotor-kotor rumah. Ibu marah nanti”.

Sejenak kuperhatikan, Ferdi bersama kawan-kawannya membawa dua buah gendang. Alat musik tradisional yang dimiliki negeri ini. Mira menjelaskan kepadaku “Itu bukan gendang, tetapi jimbe. Alat musik tradisional dari afrika”.

Tiga puluh menit berlalu, Adonan sudah siap untuk digoreng. Saya bertugas menyiapkan adonan, Mira bertugas untuk menggoreng. Pempek hasil buatan kami cukup banyak, sehingga saya berinisiatif mengambil sebuah piring dan mangkok sebagai tempat cuka. Saya membawa keluar untuk dicicipi oleh Ferdi bersama kawan-kawannya.

Saya singgah dekat ruang tv sejenak, untuk mendengarkan lagu yang dibawakan oleh Ferdi bersama teman-temannya. Lirik lagu yang dinyanyikan sepertinya berbunyi seperti ini “Rambut Gimbal punya legenda, punya cerita, punya legenda. Jangan salah terka”.

Melihat pempek ditanganku bersama semangkok cuka. Ferdi bersama kawannya serentak berhenti dan mengucapkan “terima kasih”. Mendengar lirikan lagu yang dibawakan, ferdi bersama kawannya berbahagia dan menikmati musik ala afrika ini. Seolah tanpa beban dan tidak terkontaminasi dengan industri musik yang berorientasi pasar semata sekarang ini seperti yang sering di televisi dan media-media massa lainnya.

Saya memperhatikan muka mereka satu persatu. Namun, nampaknya mereka malu-malu untuk mengambil pempek diatas piring. Saya memutuskan untuk kembali ke dapur, padahal saya kepengen ngobrol dengan mereka.

Mira sudah duduk di ruangan TV. Ia mengajak untuk mengobrol dan menikmati pempek di tempat tersebut. Saya memulai pertanyaan, “dimana ferdi belajar bermain djembe, ra ?”. Mira menjelaskan bahwa adiknya belajar Djimbe dari salah seorang anak reggae Bandar lampung yang sering nongkrong di pasar seni, dekat lapangan enggal. Anak itu kebetulan tinggal tidak jauh dari rumah Mira. Proses belajar biasanya terjadi pada sore hari, pasca Ferdi bersama teman sebanyanya pulang dari sekolah.

Perbincangan kami mulai melebar untuk mengetahui asal usul reggae lampung. Dari hasil ngobrol-ngobrol Mira bersama anak reggae itu beberapa waktu yang lalu. Ternyata tidak satupun yang memahami pasti waktu masuknya reggae ke lampung. Yang jelas menurut mereka, Reggae Lampung sudah ada sejak dahulu dan hampir tersebar di seluruh ibukota kabupaten, kota di lampung.

Karena pengetahuan kami yang minim tentang Djimbe, Kami mengutak atik HP mencari asal muasal alat musik tersebut. Sebuah situs terpecaya, wikipedia menjelaskan bahwa Djembe muncul sekitar abad 1 masehi pada masa kasta mandika, numu, Afrika. Pada waktu itu, Djembe digunakan sebagai alat pengiring spiritual untuk mnghubungkan manusia dengan tuhan.

Selain itu. Djimbe dipercaya memiliki kekuatan roh, mulai dari kekuatan roh kayu dan pohon, kekuatan roh binatang melalui kulitnya, kekuatan roh si pembuat djimbe. Ketiga roh ini sebagai penguat spiritual, karena ketiga-tiganya berasal dari benda hidup.

Pola penyebaran Djembe terjadi ketika terjadi migrasi Numu, Kasta Mandika ke daerah sekitarnya. Dengan kurangnya data tertulis sebagai bukti sejarah, maka kemudian Djimbe dikaitkan dengan kekaisaran Mali yang berkuasa pada abad 12 masehi. Wilayah Kekaisaran Mali meliputi Negara sekarang seperti Guinea, Mali, bekina faso, Pantai Gading dan Senegal.

Pola penyebaran berkembang pesat Ke suluruh dunia, mulai pada tahun 1950an yang dipelopori oleh Les Africains Ballets bekerjasama dengan Presiden Guinea, Sekou Toure untuk melakukan Kampanye budaya di Eropa. Bahkan Toure, membiayai kampanye budaya Djimbe keliling dunia.

Kegiatan Kampanye Budaya Afrika, Kemudian diikuti oleh Negara lain dengan mendirikan Komunitas dan melakukan kampanye yang sama. Komunitas itu berdiri dengan tujuan politik yang berbeda-beda seperti Ballet Koteba dari Pantai Gading, Ballet National Du Mali dari Mali, Le Ballet National du Senegal dari Senegal.

Kamapnye Djembe ke suluruh dunia menghasilkan beberapa kader yang siap untuk menghidupkan budaya djembe seperti Mamady Keita di Belgium, Famoudou di Germany, dan Epizo Bangoura di France, Amerika dan Australia.

Hal lain yang menarik dari Djembe adalah adanya inisiatif untuk mewadahi kepentingan perempuan. Pada tahun 1998, Mamoudau Conde mendirikan komunitas Djembe khusus perempuan, yang diberi nama Amazone: The Women master Drummer Of Guinea dan kemudian ganti nama Nimbaya pada tahun 2010. Kegiatan pementasan keliling dunia dimulai pada tahun 2004 dan akan terus berlangsung sampai pada tahun 2014 kedepan.

“Assaalamu Alaikum”, suara perempuan terdengar dari belakang kami. Ternyata, Ibu Mira baru pulang dari kantor. Ia menyalamiku dan mengatakan “enak gak masakannya” sambil tersenyum manis. “enak tante” jawabku. Ibu Mirna kemudian masuk kedalam kamar.

Kelas lanjutan pengenalan alat musik djimbe un anak. sumber gambar : www.tamanmusik.com
Tak terasa pempek sudah habis sepiring setengah. “eh, kita ini laper atau doyan, kok makan pempek kayak makan nasi ya” kataku sambil tertawa. Mira pun ikut tertawa. Waktu tak terasa, saya sudah empat jam berada di rumah Mira. Saya takut mamaku mencari jika terlambat pulang. Akhirnya, saya berpamitan dengan Ibu Mira.

Saya diantar Mira sampai jalan raya. Sewaktu melewati rombongan adik Mira, Ferdi, sepintas terdengar lagu yang dibawakan bersama temannya dengan lirik :

Belajar sama sama
Bermain sama sama
Kerja sama sama

Semua orang itu guru
Alam raya sekolahku
Sejahteralah bangsaku.



Berbicara Reggae bukan hanya Djembe atau Djimbe atau Jimbe, tetapi lebih dari itu, mulai rambut, pakaian, marijuana, dan musik serta sejarah perlawanan kemunculan reggae yang perlu ditelusuri lebih dalam, tapi apa boleh buat waktu terbatas, kita lanjut lain waktu kedepan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar