“Kebakaran,
kebakaran, kebakaran” teriakan itu terdengar dari ruangan tempat
kami berdiskusi sambil bermain game online. Puluhan kaki terdengar dari dalam
kamar berlarian di belakang rumah. Listrik menjadi sasaran utama untuk
dimatikan. Seorang kawan panik dengan lari naik turun tangga. Lainnya berlarian
menyaksikan warga yang mondar-mandir meminta pertolongan. Lokasi kebakaran
hanya sekitar 50 meter dari tempat kami berkumpul.
Warga
berlarian keluar rumah dengan gaya pakaian seadanya. Ada yang hanya memakai
sarung, hanya memakai celana pendek, tetapi tidak ada satupun yang telanjang
bulat . Sebagian warga membawa barang berharga mereka keluar dari rumah. televisi,
kulkas, bungkusan pakaian, kendaraan di kumpulkan di ruang – ruang kosong dalam kampung.
Kebanyakan kaum ibu-ibu beserta anaknya hanya bisa berteriak dan menangis
menyaksikan bencana kebakaran yang melanda kampung mereka.
Tidak
cukup 30 menit, ribuan kaum laki-laki baik anak muda maupun orang tua memenuhi
gang-gang kampung. Lima sudut yang bisa dijangkau dijadikan tempat untuk berbaris
dua untuk saling membantu, mengangkat air dari sumur. Kerjasama warga cukup
solid sampai diatap rumah memadamkan api jahanam yang akan menghabiskan tempat
tinggal mereka.
“Kerjasama
antar warga untuk memadamkan api tercipta dengan baik karena trauma kebakaran
yang berkali-kali menimpa tempat tinggal kami” kata salah saorang warga yang
ikut ambil bagian dalam barisan untuk mengangkat air. Sekitar sejam setengah
bekerja keras mengangkat air. Api berhasil dipadamkan warga. Bunyi sirine dari
jalan utama terdengar, pemadam kebakaran mulai berdatangan.
Saya
kembali termenung seandainya kondisi demikian yang menimpa tempat tinggalku,
pasti akan kelabakan yang lebih parah. Bencana kebakaran pernah terjadi pada
keluargaku, sewaktu diriku masih duduk di sekolah menengah pertama. orang tua
perempuanku yang bekerja sebagai pedagang harus bangun setiap subuh untuk
berangkat ke pasar menjajakan dagangannya. Pekerjaan ini dilakukan untuk
membiayai sekolah anak-anaknya, pendapatan bapak hanya cukup membiayai makan
dalam keluarga kami. Suatu hari tanpa sebab, Pasar Ibukota kecamatan tempat
ibuku selalu mendapatkan pembeli yang paling banyak, habis terbakar.
Tiga
bulan kemudian, pasar yang habis terbakar itu akan dibangun kembali. Penguasa
lokal menganggap pasar tradisional itu sudah tidak layak lagi, sehingga harus
diganti dengan pasar modern dengan mengandalkan modal dari investor. Awalnya
para pedagang dijanjikan akan mendapatkan kembali tempat mereka berjualan
setelah pasar itu dibangun. Bangunan pasar diubah seratus persen
sesui dengan kemauan investor. Ruko dibuat bertingkat dan dapat dijadikan
tempat tinggal, karena disertai dengan tempat tidur di lantai dua. Bagian tengah
pasar dibangun kios permanen disertai dengan fasilitas mewah.
Bapak
Bupati bersama kroninya membuat pesta-pesta dalam rangka
meresmikan keberhasilannya membangun pasar tradisonal dengan memanfaatkan dana
investor. Para pedagang diundang dan diberi harapan untuk berdagang dan
mendapatkan untung dua tiga kali lipat kedepannya. Pedagang yang akan menempati
kios dan ruko pasar diharapkan mendaftarkan diri di agen penyalur kios dan ruko yang
dibentuk investor.
Awalnya
uang muka hanya 3 juta rupiah. Seminggu kemudian dinaikkan 5 juta rupiah. Peminat
pun tiada henti bahkan semakin besar. Sampai akhirnya, pihak investor atau pihak pengembang menaikkan biaya uang muka harus 20 juta rupiah.
Cicilan bulanan minimal 2 juta rupiah. total harga kios kurang lebih 75 juta
rupiah. Para pedagang kecil seperti ibuku kembali berpikir, karena tidak
mempunyai uang sebesar itu. Sebagian besar pedagang menarik diri dan memilih
untuk tidak berdagang di pasar modern tersebut.
Kondisi
pasar semakin hari semakin sepi sampai sekarang. Harga kios dan ruko yang mahal
mengharuskan pedagang untuk mencari cara baru dalam mengatasi kebutuhan akan
dagang dengan keterbatasan tempat dan modal. Pasar tradisional yang kecil-kecil
menjadi tempat alternatif untuk melanjutkan usaha agar anak-akanya dapat
bersekolah. Pasar Tradisional-Modern ditinggalkan agar para pengembang jerah menanam
modal di pasar tradisional-modern yang menyingkirkan pedagang tak bermodal besar.
Kembali
ke kebakaran tempat tinggal seperti yang terjadi di kampung temanku diatas,
menimbulkan berbagai pandangan, antara kesengajaan atau bencana. Pasalnya,
kebanyakan kebakaran tempat tinggal warga rata-rata terjadi di tanah-tanah yang
tidak mempunyai surat-surat atau berkasus dengan pengusaha properti dan
sebagainya. Kalau kebakaran di perumahan elit, itu sih tidak jadi masalah,
karena mereka punya uang yang cukup untuk mendirikan tempat tinggal yang baru. Tetapi
terjadi di pemukiman padat yang kebanyakan penduduk golongan menengah kebawah dan akan menambah
kemelaratan warga.
Entah
disengaja atau tidak, yang jelas dinas penanggulangan bencana bersama penguasa
lokal harus berpikir keras untuk mengatasi fenomena kebakaran yang marak
terjadi akhir-akhir ini baik di Jakarta maupun berbagai wilayah di Indonesia
lainnya. demi mengurangi korban dan kerugian kelas menengah kebawah. bukan malah
sebaliknya, dari tahun ke tahun korban kebakaran semakin banyak dan dibiarkan
begitu saja tanpa langkah-langkah yang kongkrit untuk mengantisipasi kebakaran di pemukiman dan tempat usaha warga biasa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar