Sumber foto : yusmuseum.com |
Puluhan
orang berdiri di ruangan Yuz museum. Mereka mendengarkan kata sambutan
pembukaan pameran “Mengigat Senyap” karya Dadang Cristanto, Sebagian peserta membuka-buka
majalah sunyi senyap yang dibagikan panitia pelaksana kemarin sore (24/05).
Liong Huaw
Ming, Orang yang dianggap paling berjasa atas tersenggalaranya pameran ini, memaparkan
“Pemeran mengigat senyap adalah acara kita bersama. Acara membuktikan museum Yuz
untuk publik. Museum Yuz didedikasikan untuk publik seni rupa”. Pameran Mengingat
Senyap adalah pameran yang ke 9 sejak Museum Yuz didirikan pada tahun 2008 yang
lalu.
Huaw Ming
bercerita latar belakang munculnya keinginan menampilkan karya khas Indonesia
di Museum Yuz, dimana sebelumnya Museum Yuz identik dengan pameran budaya
china. “3 tahun yang lalu, Saya datang dengan kritis, saya bilang “Pak. Jangan
pemeran cina melulu, bingung saya melihatnya”. Pak Budi bertanya “yang mana di
Indonesia?”. Pak Budi menantang saya dan kemudian bilang “Ok, Saya terima”. Hari
ini museum Yuz membuktikan karya lokal bisa tampiL di Museum Yuz” Ucap Huaw
Ming. Budi adalah salah satu menager museum Yuz.
“Acara ini
kita matangkan 1,5 tahun yang lalu, tetapi komunikasi sudah terjalin sejak 3
tahun yang lalu dengan Bapak Dadang Cristanto”. Lanjut Huaw Ming dalam kata
sambutannya sekaligus membuka pameran "Mengingat Senyap".
Agung
Hujatnikajennong sebagai kurator pameran mengatakan “Keunikan mas dadang karena
terlahir pada tahun 70an, dimana masa itu kondisi sosial politik tertekan oleh
pemerintahan orde baru. Mas dadang hadir dengan menampilkan karya – karya yang
penuh dengan kritik sosial politik dalam negeri. Itulah keunikan karya mas
dadang”.
“Karya mas
dadang akrab dengan kepala, kepala botak, yang diawali dengan proyek menghitung
korban dengan perupaan baru. Sebagian besar karya dalam pameran ini adalah
adaptasi atau eksplorasi mas dadang dalam simbol pakuwon, penanggalan era hindu dan kemudian masyarakat penganut
kepercayaan jawa dijadikan simbol karakter orang, peruntungan, dan jodoh yang
dihitung berdasarkan penanggalan ini” ucap Agung.
Dadang
Cristanto, dalam sambutannya merefleksi munculnya ide-ide yang ditampilkan
dalam museum Yus. Dadang atau Tanto mengatakan “Pada awalnya berangkat dari
kekosongan. Saya tinggal di Yogyakarta dan disana ada pengrajin tembikar. Tanah
liat sangat murah sekali dibandingkan di Jakarta. Lalu, setiap pagi keliling
naik sepeda, kebetulan tempat tinggalku tidak jauh dari pembuat tembikar”.
“Saya
keliling desa setiap pagi, tidak jauh saya ketemu dengan teman saya. Teman
saya pengrajin wayang cuman berjarak 3
kilometer. Teman saya banyak memberi masukan tentang budaya hindu jawa yang
luar biasa. Yang berangkali dulu, saya tidak kagum dengan warisan budaya
semacam ini. Kedatangan kali ini terlelap mataku melihat keindahan ini”. Kata
tanto.
Teman yang
dimaksud Tanto adalah Subandi Giyanto, Seorang guru kesenian yang merupakan
sahabatnya semasa sekolah di Sekolah Seni Rupa Indonesia. Giyanto terlahir di
keluarga pengrajin wayang. Sejak umur 7 tahun sudah terlatih untuk menata dan
menyungging wayang. Sugiyanto yang banyak memberi masukan Pakuwon kepada dadang
Cristanto. Komunitas Sugiyanto berada di desa Gantheng, Kasongan, Yogyakarta.
“Yang kedua,
saya jalan lagi tidak jauh dari tempat tinggalku, ada pengecoran logam yang
juga terampil sekali. Inilah potensi-potensi yang memungkinkan berangkat dari
kekosongan lalu lahirlah karya seperti ini. Artinya bahwa radius 5 kilometer
ketika mencoba investigasi berangkali bisa menghasilkan sesuatu yang sangat
menggairahkan”. tutup Tanto.
Karya Dadang
Cristanto dalam museum Yuz disimpan mulai dari lantai dasar sampai lantai empat.
Lantai dasar berisi patung kepala setinggi semeter yang diberi judul “wajah tak
pernah lengkap”. Karya lain dilantai dasar berupa lukisan cat air diatas kain
kanvas yang diberi nama “Pakuwon 1”, “Pakuwon 2” dan “Pakuwon 3”.
Lantai 2
museum Yuz berisi sepuluh patung yang diberi judul “mereka pernah
bermimpi”. Monumen sepuluh tokoh gerakan kiri Indonesia seperti pramoedya
ananta toer, Amir Syarifuddin, Sulasmi, Tan Malaka, Sudisman, Haji Misbach,
Widji Tukul, Njoto, Soekarno dan Aidit.
Instalasi di
Lantai 3 berisi 75 buah kepala yang
terbuat dari tembaga. Susunan kepala berurut 1 – 9 – 65, tahun dimana
pembataian terhadap anggota Partai Komunis Indonesia PKI terjadi.
Lantai 4 museum
Yuz berisi sebuah kamar berukuran 280x280 meter, yang terbuat dari kaleng bekas
minyak dengan warna merah, biru, ijo, kuning, hitam, coklat dst. Dalam kamar
terdapat ratusan kepala yang tersusun dalam rak-rak yang berwarna hitam pekat.
Karya ini diberi judul “disini kutemukan kalian”.
Karya yang
ditampilkan Dadang Cristanto bercerita melalui media lukisan diatas kanvas dan
patung. Cerita tentang kehidupan manusia Indonesia dari zaman Hindu sampai
sekarang. Kehidupan manusia tetap sama, Penguasa yang dulunya dewa Ramayana
selalu menertawai kehidupan manusia yang sengaja disetting dengan penuh kekerasan
dan korupsi. Kehidupan ini tergambar dalam lukisan pakuwon 1 dilantai dasar.
Dewa Ramayana selalu berada diatas, membiarkan macan melakukan kekerasan dan
celeng babi yang suka korupsi. Manusia biasa dengan sketsa kepala warna putih
selalu menjadi korban kebiadaban penguasa.
Pada masa
kolonial ditandai dengan cengkraman penguasa terhadap orang biasa. Ketika
manusia biasa tidak bekerja sama dengan penguasa, maka akan jatuh dan
terpanggang dalam bunga-bunga api dan menjadi tengkorak. Hal ini terlihat dalam
patung “Wajah tak pernah lengkap”. Dewa Ramayana yang mengenakan sepatu tentara
kolonial selalu mengungkung kehidupan umat manusia dengan tetap memegang
rambut, tangan atau bagian tubuh lainnya. Pikiran manusia waktu itu hanyalah
kekerasan dan kuasa belaka.
Perubahan
dalam negeri ditandai dengan kekerasan 1965, dimana jutaan manusia tidak
bersalah dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia PKI dan dibunuh
secara kejam oleh penguasa. Salah satu korban kekerasan pada waktu itu adalah
orang tua Dadang Cristanto. Umur Dadang Cristanto waktu itu baru sekitar 8
tahun. Gambaran ini terlihat dalam karya di lantai 3 berisi 75 buah kepala yang
terbuat dari tembaga dengan susunan 1-9-65.
Dalam proses
penghapusan politik partai sosialis komunis Indonesia beberapa tokoh dalam
negeri menjadi korban keganasan penguasa Seperti Njoto, Aidit, Sukarno, Tan
Malaka, Pram, Amir Syarifuddin dsb. Pembungkaman Ide-ide sampai pembunuhan
secara sadis.
Perubahan
dalam negeri ditandai juga dengan peristiwa kejatuhan Presiden Suharto tahun
1998 yang lalu. Salah satu tokoh kiri yang menjadi korban adalah Widji Tukul,
seniman yang selalu meneriakkan perlawanan terhadap penguasa otoriter Suharto.
Widji Tukul hilang sampai sekarang, entah dimana jasadnya?. Penguasa sangat
kejam terhadap orang-orang yang berbeda pemikiran dengannya. Cerita ini
tergambar dalam monumen tokoh reformasi 98, Widji Tukul di Lantai 2 museum Yuz.
Bukan hanya itu, reformasi menghasilkan ratusan korban dalam kerusuhan mei
1998.
Kekerasan
tidak berhenti sampai disitu, kekerasan terhadap manusia Indonesia terjadi sampai sekarang. Orang biasa Indonesia
dibunuh secara kejam akibat konflik sumber daya alam dengan pengusaha dan
penguasa. Contoh konflik sumber daya alam yang mengakibatkan korban adalah
konflik lahan minyak dan berbagai konflik lainnya seperti pertanahan,
pertambangan, pembangunan dll. Hal ini tergambar dalam karya Dadang Cristanto di
lantai empat, dalam sebuah kotak yang terbuat dari kaleng bekas minyak berisi
ratusan kepala manusia. Kaleng bekas itu berwarna warni untuk menandakan
berbagai konflik yang mengakibatkan korban manusia biasa di Indonesia. Namun,
sampai kapan pembantaian manusia Indonesia bisa berhenti ?. Kita tunggu Karya
selanjutnya.
Untuk
memberikan interpretasi baru terhadap karya Dadang Cristanto, silahkan
mengunjungi Museum Yuz, Darmawangsa Square, Jalan Darmawangsa VI dan IX,
Jakarta Selatan. Acara pameran “Mengingat Senyap” akan berlangsung mulai 24 Mei
sampai 24 Agustus 2012.
mas Dadang Christanto , saya kagum denganmu
BalasHapusBegitu pedulinya dirimu dengan keadaan umat manusia di negeri ini .
yang berkuasa semena-mena . rakyat kecil jadi mangsanya.
selamat berkarya terus mas Dadang Christanto